Kepala Sekolah dan Waka Humas SMKN 3 Boyolangu Sulit Bertemu Wartawan Diduga Enggan Dikonfirmasi, Etis atau Melanggar Aturan ?

Tulungagung,Oposisinews.net|Upaya konfirmasi seorang wartawan terhadap Kepala Sekolah dan Wakil Kepala Bidang Humas SMK Negeri 3 Boyolangu menemui jalan buntu. Saat wartawan mendatangi sekolah tersebut untuk meminta klarifikasi terkait isu internal, satpam M.Khoirul Anwar menyampaikan bahwa kedua pejabat belum datang dan mempertanyakan apakah sudah ada janji temu resmi.Senin, (14/7).

Langkah konfirmasi merupakan bagian dari tugas jurnalistik yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 4 ayat (3) menyebutkan bahwa pers nasional berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi. Maka, pertanyaan muncul: apakah wartawan wajib membuat janji sebelum melakukan konfirmasi, terutama ketika pihak yang bersangkutan enggan merespons pesan ataupun panggilan telepon?

Wondo Ketua DPP LSM Gerakan Rakyat Anti Koropsi (GERAK) mengatakan kewajiban konfirmasi tidak mensyaratkan adanya janji resmi. Yang terpenting adalah itikad baik dari jurnalis untuk memberikan ruang klarifikasi sebelum berita dimuat. Jika pihak yang ingin dikonfirmasi menutup akses, tanggung jawab moral dan hukum bergeser kepada mereka, bukan pada wartawan.

Wondo menambahkan sikap tertutup dari pihak sekolah menyalahi prinsip transparansi publik, terlebih lembaga pendidikan negeri dibiayai oleh APBN/APBD dan bertanggung jawab kepada masyarakat. Penolakan tanpa alasan jelas berpotensi menciptakan praduga buruk di ruang publik.

Di sisi lain, UU Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008 mengatur bahwa badan publik wajib memberikan informasi yang diminta secara cepat, tepat waktu, dan jelas. Sekolah sebagai bagian dari badan publik tidak terkecuali. Maka penolakan untuk dikonfirmasi bisa dianggap bertentangan dengan asas keterbukaan.

Sikap “alergi konfirmasi” seperti ini patut dikritisi. Wartawan bukan aparat penegak hukum, tetapi mereka berperan sebagai kontrol sosial. Ketika narasumber menghindar dari konfirmasi, bukan hanya jurnalis yang dirugikan, tetapi hak publik untuk tahu juga terampas.

Wondo juga menekankan bahwa konfirmasi bukan soal etiket janji temu, tetapi soal kepatutan dan tanggung jawab. Pihak sekolah semestinya memahami bahwa keterbukaan kepada media merupakan bentuk pertanggungjawaban publik.

Dalam praktik jurnalistik, idealnya jurnalis melakukan upaya konfirmasi secara berulang dan terdokumentasi. Jika pesan singkat dan panggilan tidak direspons, kunjungan langsung menjadi pilihan sah. Namun, menolak tanpa alasan sah bisa dimaknai sebagai penghindaran atas transparansi.

Kasus SMKN 3 Boyolangu ini menjadi cerminan bahwa komunikasi antara institusi publik dan media harus dibenahi. “Sikap tertutup berisiko memperburuk persepsi dan memperbesar ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan” jelas Wondo.

Sampai berita ini dipublikasikan Saiful Huda selaku Kepala
Sekolah SMKN 3 Tulungagung maupun Waka Humas belum bisa ditemui.

Pewarta : by. U

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *